Peran Terapi Intervensi pada Nyeri Kanker

Peran Terapi Intervensi pada Nyeri Kanker. Nyeri pada penderita kanker kerap menjadi momok. Pasalnya, sebagian besar penderita kanker akan mengalami nyeri sewaktu-waktu. Mungkin karena penekanan saraf akibat massa kanker itu sendiri, maupun sebagai efek samping terapi seperti kemoterapi, pembedahan, dan obat-obatan. Bahkan, nyeri ini dapat menetap meski penderita tersebut telah dinyatakan bebas dari kanker. Derajat nyeri yang berkaitan dengan kanker dapat bervariasi dari penderita satu ke penderita lain.

Hal ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti jenis, stadium kanker, dan kepekaan pasien terhadap nyeri. Nyeri ini umumnya dapat dikendalikan melalui berbagai cara dan obat. Semakin cepat diterapi, kemungkinan nyeri teratasi juga semakin besar. Berkat guidelines penatalaksanaan nyeri kanker yang dipublikasikan oleh WHO dan pemahaman mengenai berbagai modalitas analgesik, penanganan nyeri pada penderita kanker telah jauh lebih baik dibanding dahulu.

Berdasarkan step ladder WHO, nyeri yang bersifat ringan hingga sedang dapat diterapi menggunakan obat-obatan anti inflamasi nonsteroid. Sedangkan nyeri derajat sedang hingga berat dapat diatasi dengan pemberian obat dari golongan narkotik seperti kodein, morfin, dan lain-lain. Sayangnya, studi menunjukkan bahwa penerapan step ladder WHO tidak adekuat pada sekitar 14% penderita nyeri kanker. “Pada pasien ini, nyeri tidak dapat diatasi meski telah dilakukan kemoterapi, operasi, radiasi, dan pemberian obat-obatan pereda nyeri,” ujar Prof. dr. Darto Satoto, SpAn(K), pakar nyeri Klinik Nyeri dan Tulang Belakang, Jakarta. Karena itu, kehadiran terapi intervensi sebagai pilihan terapi nyeri yang efektif tidak kalah pentingnya.

Terapi intervensi nyeri pada kanker

Menurut studi, 10-20% pasien nyeri kanker yang memiliki respons rendah terhadap terapi opioid atau bermasalah dengan efek sampingnya, dapat memperoleh manfaat dari prosedur intervensi yang bertujuan untuk memutuskan sinyal nyeri dari saraf tepi ke otak. “Terapi ini juga dapat membantu mengurangi kebutuhan dan efek samping terhadap obat analgesia, terutama golongan narkotik,” jelasnya. Ada dua teknik intervensi yang dilakukan untuk mengatasi nyeri kanker, yaitu teknik destruktif dan teknik non-destruktif.

Teknik destruktif merupakan teknik perusakan jaringan saraf guna menghentikan impuls nyeri secara irreversible. Teknik destruktif yang dapat digunakan di antaranya pemberian agen farmakologis, radiofrekuensi, dan pembedahan. Sedangkan teknik non-destruktif merupakan teknik untuk menghentikan impuls nyeri secara reversible melalui obat-obatan atau rangsangan elektrik. Teknik destruktif umumnya dapat dilakukan hanya satu kali (meskipun mungkin memerlukan pengulangan di kemudian hari).

Dengan demikian, teknik ini lebih menguntungkan dari segi biaya dan kenyamanan. Akan tetapi, teknik ini dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan lain di luar sasaran. Sedangkan teknik non-destruktif dapat berupa prosedur yang dilakukan secara berkala, pemberian infus terus-menerus, atau melalui perangsangan saraf.

TEKNIK NON-DESTRUKTIF

Penyuntikan atau pemasangan infus berisi obat anestesi lokal, dengan atau tanpa steroid, untuk menghambat impuls dan meredakan nyeri secara reversibel. Teknik ini dapat dilakukan pada saraf perifer, lapangan perifer, maupun pada sumsum tulang bergantung pada area yang ingin dimanipulasi. Obat dapat disuntikkan secara berkala atau secara kontinyu melalui kateter atau pompa infus. Teknik ini dapat dicoba jika nyeri tidak lagi dapat diatasi dengan pemberian obat opioid dan analgesik sistemik. Selain itu, ia juga dapat dilakukan jika pemberian obat secara sistemik ditakutkan akan menimbulkan efek samping.

·Neuraxial analgesia

Merupakan teknik yang menargetkan cornu dorsalis sumsum tulang melalui pemberian obat yang disuntikkan secara epidural atau intratekal. Obat yang digunakan pada neuraxial analgesia umumnya berasal dari golongan opioid (misalnya morfin), obat anestesi lokal (misalnya bupivacaine), atau gabungan keduanya. Teknik ini terbukti pada sejumlah studi dapat menurunkan kebutuhan obat pereda nyeri sistemik pada pasien dengan nyeri kanker derajat berat dan cukup populer. “Untuk mendapatkan efek jangka panjang, teknik ini dapat dikombinasikan dengan pemasangan implant kateter,” jelasnya.

Perangsangan sumsum tulang

Merupakan teknik penanaman elektroda secara perkutan di dalam rongga epidural setinggi daerah spinal yang hendak diatasi nyerinya. Elektroda ini akan menghantarkan stimulus yang menurunkan sensasi nyeri di daerah yang dituju. Meski demikian, teknik ini belum banyak digunakan pada penderita kanker.

TEKNIK DESTRUKTIF

Teknik destruktif merupakan teknik ang didesain untuk mendapatkan efek analgesia yang lebih permanen. Meski demikian, perlu diingat bahwa saraf yang mengalami kerusakan cenderung tumbuh atau sembuh dalam waktu beberapa bulan, sehingga ada kemungkinan nyeri timbul kembali.

Penggunaan agen farmakologis

Agen yang digunakan biasanya adalah ethanol 50-100% dan phenol 3-12%. Untuk mengurangi rasa nyeri, larutan alkohol yang akan disuntikkan dapat dicampur terlebih dahulu dengan obat anestesi lokal. Penyuntikan bahan kimia ini akan menyebabkan iritasi dan kerusakan sel-sel saraf, baik pada membran protein, lapisan myelin, hingga akson dan sambungan saraf. Bahan ini dapat disuntikkan secara intratekal untuk menghentikan hantaran sinyal nyeri ke otak.

Radiofrekuensi

Pemberian arus radiofrekuensi sebesar 50-500kHz ke dalam jaringan saraf akan menimbulkan panas ang dapat mengakibatkan ablasi atau kerusakan jalur yang menghubungkan saraf tepi dan saraf pusat.  Pada radiofrekuensi konvensional, arus ini dihantarkan melalui ujung jarum yang diletakkan pada saraf yang menjadi sasaran, kemudian dipanaskan paa suhu 80-90°C selama 60-90 menit.

Pembedahan

Penghantaran sinyal dari saraf tepi kesaraf pusat data dihambat dengan memutuskan hubungan keduanya melalui pembedahan. Meski demikian, teknik ini jarang dilakukan. Teknik pembedahan yang dapat dilakukan di antaranya myelotomi midline untuk kanker yang menimbulkan nyeri visceral dan perusakan akar dorsal pada sumsum tulang belakang.

Meski sebagian besar penderita nyeri kanker dapat ditanganni dengan baik melalui obat pereda nyeri tradisional, ada sebagian pasien yang tidak dapat menikmati fase bebas nyeri. Bisa karena terapi tidak adekuat, atau karena ditakutkan timbulnya efek samping pemberian obat analgesia secara sistemik. Pada pasien-pasien ini, penggunaan teknik intervensi membuktikan pentingnya penanganan nyeri secara multimodal dan peranan dokter ahli di bidang nyeri sangat diperlukan.

 

Tentang Klinik Nyeri dan Tulang Belakang

Klinik Nyeri dan Tulang Belakang Jakarta, hadir sebagai klinik yang menawarkan solusi pengobatan berbagai macam penyakit nyeri dan tulang belakang. Klinik Nyeri dan Tulang Belakang merupakan klinik pertama di Indonesia yang menggunakan peralatan modern sebagai penunjang diagnostik dalam penanganan nyeri. Klinik nyeri yang berdomisili di Jakarta ini dibangun dengan konsep yang kuat berprinsip NO MORE PAIN yang berorientasi terhadap kesembuhan pasien.

Para pencetus dan pendiri Klinik Nyeri dan Tulang Belakang merupakan para dokter spesialis, yang bersama-sama ingin menghadirkan wadah pengobatan dan konsultasi bagi masyarakat penderita nyeri. Dengan mengedepankan kualitas, Klinik Nyeri dan Tulang Belakang hadir ke masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa nyeri adalah penyakit yang harus dihilangkan. Seperti tertuang dalam visi dan misinya sebagai pusat pengobatan nyeri dan tulang belakang, diharpakan JPSC mampu memberikan pelayanan terbaik terhadap pasien diseluruh wilayah Indonesia.

Jika Anda, keluarga atau rekan nada mengidap penyakit kanker, jangan berhenti untuk memberikan dukungan, karena dukungan dan masukan positif merupakan hal yang sangat penting bagi proses kesembuhan pasien. Jangan ragu untuk mengonsultasikan nyeri yang dirasakan bersama Klinik Nyeri dan Tulang Belakang Jakarta

Artikel Terkait